NIKAH
HAMIL DAN NIKAH BEDA AGAMA
Makalah
Disusun
Guna Memenuhi Tugas
Mata
Kuliah : Ilmu Fiqih
Dosen
Pengampu : Dr. Umul Baroroh, M.Ag.
Disusun
Oleh :
Nur
Aini Fitria (1701016031)
FAKULTAS
DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan perbuatan yang disyariatkan
islam yang mengikat pergaulan antara laki-laki dan perempuan sebagai suami dan
isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang menimbulkan hak dan kewajiban.
Islam telah menjelaskan bahwa pekawinan merupakan sunnatullah yang sangat dianjurkan karena perkawinan sendiri
merupakan cara yang dipilih Allah untuk meneruskan kehidupan manusia.
Dalam perkembangan selanjutnya lembaga perkawinan
selalu menghadapi tantangan bahkan bisa terancam eksistensinya ketika dihadapkan
pada suatu problem yang mencoba mengusik kesakralan institusinya. Problem yang
dimaksud yaitu kehamilan diluar nikah dan nikah beda agama.
B.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
hukum nikah pada saat hamil menurut Kompilasi Hukum Islam, 4 Mazhab dan
Undang-Undang?
2. Bagaimana
nasab atau status anak diluar nikah menurut Kompilasi Hukum Islam, 4 Madzhab,
Undang-Undang?
3. Bagaimana
hukum pernikahan beda agama menurut Kompilasi Hukum Islam, 4 Madzhab,
Undang-Undang?
BAB II
PEMBAHASAN
A. NIKAH HAMIL
1. Hukum
Nikah Hamil menurut Kompilasi Hukum Islam
Kasus hamil diluar nikah secara khusus diatur dalam
pasal 53 KHI. Pasal tersebut menjelaskan tentang kebolehan melangsungkan
perkawinan bagi wanita hamil diluar nikah. Meskipun demikian ada ketentuan yang
harus dipenuhi dalam perkawinan tersebut diantaranya :
a. Seorang
wanita yang hamil diluar nikah bisa dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
b. Perkawinan
dengan wanita hamil yang disebut pada ayat 1 dapat dilangsungkan tanpa menunggu
kelahiran anaknya.
c. Dengan
melangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan
ulang setelah anaknya lahir.[1]
Dasar
pertimbangan KHI terhadap perkawinan wanita hamil adalah Quran Surat An Nur
ayat 3 :
لزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً
وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ ۚ
وَحُرِّمَ ذَٰلِكَ
عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
Artinya
: Laki-laki pezina tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan atau
dengan perempuan yang musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali
dengan pezina laki-laki atau dengan laki laki musyrik; dan yang demikian itu
diharamkan bagi orang-orang muslim.[2]
2. Nikah
Hamil menurut 4 Mazhab
a. Iman
Syafi’I dan Iman Hanafi mengatakan wanita hamil akibat zina boleh melangsungkan
perkawinannya dengan laki-laki yang menghamilinya atau laki-laki lainnya.
Menurut Imam Hanafi meskipun perkawinan wanita hamil dapat dilangsungkan dengan
laki-laki, tetapi tidak boleh disetubuhi sehingga bayi yang didalam
kandungannya lahir. Menurut Imam Syafi’i perkawinan wanita hamil itu dapat
dilangsungkan dapat pula melakukan persetubuhan meskipun bayi masih dalam
kandungan.
b. Imam
Malik dan Imam Ahmad bin Hambal mengatakan tidak boleh melangsungkan perkawinan
antara wanita hamil dengan laki-laki lain maupun yang menghamilnya sampai dia
melahirkan. Menurut mereka sama halnya dengan dikawini dalam bentuk zina atau syubbat maka dia harus mensucikan diri
dalam waktu yang sama dengan iddah. Wanita hamil tidak boleh melakukan
perkawinan sampai dia melahirkan kandungannya[3]
3. Nikah
Hamil menurut Undang Undang
Menurut
pasal 1 Udang-Undang Perkawinan Nomer 1 tahun 1974 Perkawinan ialah ikatan lahir
batin antara pria dan wanita sebagai suami isteri untuk membentuk suatu keluarga
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun1974 tertang perkawinan secara eksplisit
tidak mengatur tentang perkawinan wanita hamil tetapi secara implisit ada dalam
pasal 2 ayat (1) bahwa :’’perkawinan yang sah apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya”.[4]
B.
Status
atau nasab anak dari wanita hamil diluar nikah
1. Menurut
Kompilasi Hukum Islam
Status
anak yang lahir diluar pernikahan dalam Kompilasi Hukum Islam mempunyai makna
“anak zina” seperti yang dijelaskan oleh Hasanayn adalah anak yang dilahirkan
diluar perkawinan yang sah, sebagaimana terdapat pada pasal 100 Kompilasi Hukum
Islam yang menyebutkan “anak yang lahir
diluar perkawinan hanya mempunyai nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”.[5]
2.
Menurut 4
Madzhab
Nasab
anak dari wanita nikah hamil menurut Imam Syafi’I bahwa nasab anak tersebut tidak
ikut pada ayahnya. Bahkan jika sang ayah ingin menikahinya maka tidak dilarang.
Cuma Imam Syafi’I sendiri yang tidak suka dengan hal tersebut. Dan jika benar
terjadi maka pernikahan tersebut tidak menjadi fasikh.
Adapun
pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bi Hambal laki-laki yang telah berzina
tidak boleh menikahi anaknya dari hasil zina tersebut. Pelarangannya sebab
bukan menikahi anaknya sendiri, akan tetapi anak dari wanita yang telah
dihalimi adalah nasabnya menjadi mashoharoh. [6]
3. Menurut
Undang-Undang Perkawinan
Menurut
UU No 1 taun1974 tentang perkawinan dalam Pasal 42-43 yang pada pokoknya
menjelaskan bahwa ”anak yang sah adalah
anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari pernikahan yang sah. Anak
yang dilahirkan diluar pernikahan hanya mempunyai hubungan perdata dengaan
ibunya dan keluarga ibunya”.
Status
sebagai anak yang dilahirkan diluar pernikahan merupakan suatu masalah bagi
anak tersebut, karena mereka tidak bisa mendapat hak-hak dan kedudukan sebagai
anak pada umumnya, karena secara hukumnya hanya memiliki hubungan dengan ibu
dan keluarga ibunya. Anak diluar nikah tidak mendapat hak yang menjadi
kewajiban ayahnya, karena tidak ada keabsahannya.[7]
C.
Pernikahan
Beda Agama
Pernikahan
beda agama diatur dalam surat Al-Baqarah ayat 221 :
وَلَا
تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ
وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ
وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ
وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ
أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ
وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ
وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Artinya : “Dan
janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin
lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka
mengambil pelajaran.”
Dalam
surat Al Baqarah ayat 221 dijelaskan bahwa wanita musrikiyah tidak boleh
menikah dengan laki-laki muslim dan wanita muslimah dilarang dinikahkan dengan
pria kafir. Dijelaskan diatas bahwa yang dimaksud musyrik adalah yang menyembah
berhala; yang menganut agama-agama non-samawi yang menyembah binatang, api dan
bintang; dan yang pengikut ateisme[8]
1. Perkawinan Beda Agama
dalam Kompilasi Hukum Islam
Menurut Kompilasi
Hukum Islam mengenai perkawinan beda agama diatur dalam buku I tentang Hukum
Perkawinan pada pasal 40 huruf (c) dan pasal 44 KHI kedua pasal itu menyatakan
:
a.
Pasal 40 huruf (c) “dilarang melakukan perkawinan antar seorang pria dengn seorang wanita
karena keadaan tertentu, huruf (c); seorang yang tidak beragama islam.”
b.
Pasal 44 ; “seorang
wanita islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak
Beragama islam”
Dari kedua pasal ini
KHI melarang segala bentuk perkawinan beda agama, baik itu perkawinan pria
muslim dengan wanita non-muslim maupun sebaliknya.
2. Perkawinan Beda Agama
menurut 4 Mazhab
a.
Mazhab Hanafi
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan pria muslim dengan
perkawinan wanita non muslim hukumnya mutlak haram, tetapi membolehkan wanita
ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani). Menurut madzhab ini yang dimaksud dengan
ahlul kitab adalah siapa saja yang mempercayai Nabi dan Kitab yng diturunkan
Allah swt.
b.
Madzhab Maliki
Madzhab Maliki mempunyai dua pendapat mengenai nikah beda agama
:
1)
Menikah dengan wanita kitabiyah hukumnya
makruh mutlaq, baik dzimmiyah maupun harbiyah namun makruhnya wanita harbiyah
lebih besar. Akan tetapi jika dikhawatirkan bahwa si Isteri yang kitabiyah ini
akan mempengaruhi anak-anaknya dan meninggalkan agama ayahnya, maka hukumnya
haram.
2)
Tidak makruh mutlaq karena ayat tersebut tidak
melarang secara mutlaq.metode berpikir madzhab ini menggunkan pendekatan Sad al Zairah (menutup jalan yang
mengarah kepada kemafsadatan). Jika
dikhawatirkan kemafsadatan yang akan
muncul dalam perkawinan beda agama, maka diharamkaan.
c.
Madzhab Syafi’i
Madzhab Syafi’I berpendapat membolehkan menikahi wanita ahlul
kitab dan yang termasuk golongan wanita ahlul kitab menurut madzhab Syafi’i
adalah wanita yahudi dan nasrani keturunan bangsa Israel dan termasuk bangsa
lainnya, sekalipun penganut agama Yahudi dan Nasrani.
d.
Madzhab Hambali
Pada Madzhab Hambali mengenai kajian perkawinan beda agama ini
berpendapat haram menikahi wanita musrik dan boleh menikahi wanita Yahudi dan
Nasrani, banyak mendapat dukungan pendapat Gurunya yaitu Imam Syafi’i. tetapi
tidak membatasi dai bangsa Israel saja.[9]
3. Pernikahan Beda Agama
menurut Undang-Undang
Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974
tentang perkawinan mengatur secara tegas tentang perkawinan campuran dan
sekaligus tentang sah-nya suatu perkawinan. Dalam UU No.1 Tahun 1974 pasal yang
dijadikan sebagai landasan perkawinan beda agama adalah pasal 2 ayat 1, pasal 8
huruf f dan pasal 57.
Pasal 2 ayat 1
berbunyi “ perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaan itu.”
Pasal 8 huruf f
“perkawinan dilarang antara dua orang yang : f. mempunyai hubungan yang oleh
agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin”
Pasal 57 “ yang
dimksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini adalah perkawinan antar
dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu
lagi berkewarganegaraan Indonesia.
Dalam memahami
perkawinan beda agama menurut Undang-Undang ada tiga penafsiran yang berbeda :
a. Pernikahan beda agama
merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1 1974 pasal 2 ayat 1 dan pasal 8 hururf
f.
b. Perkawinan beda agama
adalah sah dan dapat dilangsungkan karena telah tercakup dalam pernikahan
campuran.
c. Perkawinan beda agama
sama sekali tidak diatur dalam UU No.1/1974 oleh karena itu berdasarkan pada
pasal 66 UU No.1/1974 maka persoalan nikah beda agama dapat merujuk pada
pernikahan campuran karena belum diatur dalam Undang-Undang Perkawinan.[10]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Perkawinan
merupakan perbuatan yang disyariatkan islam yang mengikat pergaulan antara
laki-laki dan perempuan sebagai suami dan isteri dengan tujuan membentuk
keluarga yang menimbulkan hak dan kewajiban. Lembaga perkawinan selalu
menghadapi tantangan bahkan bisa terancam eksistensinya ketika dihadapkan pada
suatu problem yang mencoba mengusik kesakralan institusinya. Problem yang
dimaksud yaitu kehamilan diluar nikah dan nikah beda agama. Ada beberapa
pendapat mengenai nikah hamil dan nikah beda agama. Ada yang memperbolehkan
tetapi dengan syarat, ada juga yang melarang untuk melakukan.
DAFTAR
PUSTAKA
Alhaa,
Fatfaurrahman. Perkawinan Wanita Hamil.dalam Jurnal Hukum dan Pemikiran, No.2.
Ali,
Zainuddin. 2006. Hukum Perdata Islam di
Indonesia. Jakarta:Sinar Grafis
Huda, Nurul. Kawin Hamil dalam Kompilasi Hukum Islam. Dalam Isharqi, Vol.5,
No.1, Jan-Jun 2009
http://alexanderizki.blogspot.sg/2011/03/perkawinan-beda-agama-hukum-dan.html?m=1,
diakses pada 20 mei 2018 pukul 19.54
http://henipurwadi.blogspot.sg/2012/10/status-ana-zina-dalam-undang-undang.html?m=1
, diakses pada 09 Mei 2018 pukul 23.02
http://islammodern-arman.blogspot.in/2010/01/hukum-pernikahan-beda-agama-makalah.html?m=1,
diakses pada 10 Mei 2018 pukul 10.45
http://kerinci.kemenag.go.id/2013/06/22/status-anak-di-luar-nikah-dalam
-kompilasi-hukum-islam/, diakses pada 09 Mei 2018 pukul
22.29
http://mentarijunior.wordpress.com/hukum-nikah-hamil-menurut-4-madzhab/
, diakses pada 09 Mei 2918 pukul 22.49
Pasal
1 dan 2 ayat (1) UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Setiyanto, Danu Aris. Larangan Perkawinan Beda Agama dalam
Kompilasi Hukum Islam. Al-Daulah dalam Jurnal Hukum dan Perundangan Islam,
Vol.7, No 1, April 2017
[1]
Nurul Huda, Kawin Hamil dalam Kompilasi
Hukum Islam, Isharqi, vol.5, No 1, hlm. 40
[2]
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di
Indonesia, Jakarta:Sinar Grafis, 2006, hlm. 45
[3]
Fatfaurrahman Alhaa, Perkawinan Wanita
Hamil, Syariah dalam Jurnal Hukum dan Pemikiran, No.2, hlm. 231-232
[4]
Pasal 1 dan 2 ayat (1) UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
[5] http://kerinci.kemenag.go.id/2013/06/22/status-anak-di-luar-nikah-dalam
-kompilasi-hukum-islam/, diakses pada 09 Mei 2018 pukul 22.29
[6]
http://mentarijunior.wordpress.com/hukum-nikah-hamil-menurut-4-madzhab/ ,
diakses pada 09 Mei 2918 pukul 22.49
[7] http://henipurwadi.blogspot.sg/2012/10/status-ana-zina-dalam-undang-undang.html?m=1
, diakses pada 09 Mei 2018 pukul 23.02
[8] Danu Aris Setiyanto, Larangan Perkawinan Beda Agama dalam Kompilasi Hukum Islam, Al-Daulah
dalam Jurnal Hukum dan Perundangan Islam Vol.7 No.7,2017, hlm. 93
[9] http://islammodern-arman.blogspot.in/2010/01/hukum-pernikahan-beda-agama-makalah.html?m=1,
diakses pada 10 Mei 2018 pukul 10.45
[10] http://alexanderizki.blogspot.sg/2011/03/perkawinan-beda-agama-hukum-dan.html?m=1,
diakses pada 20 mei 2018 pukul 19.54
Tidak ada komentar:
Posting Komentar