Selasa, 12 Juni 2018

Nikah Hamil dan Nikah Beda Agama


NIKAH HAMIL DAN NIKAH BEDA AGAMA
Makalah
Disusun Guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah : Ilmu Fiqih
Dosen Pengampu : Dr. Umul Baroroh, M.Ag.





Disusun Oleh :
Nur Aini Fitria                        (1701016031)



FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2018

BAB I

PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Perkawinan merupakan perbuatan yang disyariatkan islam yang mengikat pergaulan antara laki-laki dan perempuan sebagai suami dan isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang menimbulkan hak dan kewajiban. Islam telah menjelaskan bahwa pekawinan merupakan sunnatullah yang sangat dianjurkan karena perkawinan sendiri merupakan cara yang dipilih Allah untuk meneruskan kehidupan manusia.
Dalam perkembangan selanjutnya lembaga perkawinan selalu menghadapi tantangan bahkan bisa terancam eksistensinya ketika dihadapkan pada suatu problem yang mencoba mengusik kesakralan institusinya. Problem yang dimaksud yaitu kehamilan diluar nikah dan nikah beda agama.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana hukum nikah pada saat hamil menurut Kompilasi Hukum Islam, 4 Mazhab dan Undang-Undang?
2.      Bagaimana nasab atau status anak diluar nikah menurut Kompilasi Hukum Islam, 4 Madzhab, Undang-Undang?
3.      Bagaimana hukum pernikahan beda agama menurut Kompilasi Hukum Islam, 4 Madzhab, Undang-Undang?







BAB II
PEMBAHASAN

A.    NIKAH HAMIL
1.      Hukum Nikah Hamil menurut Kompilasi Hukum Islam
Kasus hamil diluar nikah secara khusus diatur dalam pasal 53 KHI. Pasal tersebut menjelaskan tentang kebolehan melangsungkan perkawinan bagi wanita hamil diluar nikah. Meskipun demikian ada ketentuan yang harus dipenuhi dalam perkawinan tersebut diantaranya :
a.       Seorang wanita yang hamil diluar nikah bisa dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
b.      Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat 1 dapat dilangsungkan tanpa menunggu kelahiran anaknya.
c.       Dengan melangsungkan perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anaknya lahir.[1]
Dasar pertimbangan KHI terhadap perkawinan wanita hamil adalah Quran Surat An Nur ayat 3 :
لزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ ۚ
 وَحُرِّمَ ذَٰلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
                        Artinya : Laki-laki pezina tidak boleh menikah kecuali dengan pezina perempuan atau dengan perempuan yang musyrik; dan pezina perempuan tidak boleh menikah kecuali dengan pezina laki-laki atau dengan laki laki musyrik; dan yang demikian itu diharamkan bagi orang-orang muslim.[2]
2.      Nikah Hamil menurut 4 Mazhab
a.       Iman Syafi’I dan Iman Hanafi mengatakan wanita hamil akibat zina boleh melangsungkan perkawinannya dengan laki-laki yang menghamilinya atau laki-laki lainnya. Menurut Imam Hanafi meskipun perkawinan wanita hamil dapat dilangsungkan dengan laki-laki, tetapi tidak boleh disetubuhi sehingga bayi yang didalam kandungannya lahir. Menurut Imam Syafi’i perkawinan wanita hamil itu dapat dilangsungkan dapat pula melakukan persetubuhan meskipun bayi masih dalam kandungan.
b.      Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hambal mengatakan tidak boleh melangsungkan perkawinan antara wanita hamil dengan laki-laki lain maupun yang menghamilnya sampai dia melahirkan. Menurut mereka sama halnya dengan dikawini dalam bentuk zina atau syubbat maka dia harus mensucikan diri dalam waktu yang sama dengan iddah. Wanita hamil tidak boleh melakukan perkawinan sampai dia melahirkan kandungannya[3]

3.      Nikah Hamil menurut Undang Undang
Menurut pasal 1 Udang-Undang Perkawinan Nomer 1 tahun 1974 Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara pria dan wanita sebagai suami isteri untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 tahun1974 tertang perkawinan secara eksplisit tidak mengatur tentang perkawinan wanita hamil tetapi secara implisit ada dalam pasal 2 ayat (1) bahwa :’’perkawinan yang sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya”.[4]

B.     Status atau nasab anak dari wanita hamil diluar nikah
1.      Menurut Kompilasi Hukum Islam
Status anak yang lahir diluar pernikahan dalam Kompilasi Hukum Islam mempunyai makna “anak zina” seperti yang dijelaskan oleh Hasanayn adalah anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah, sebagaimana terdapat pada pasal 100 Kompilasi Hukum Islam yang menyebutkan “anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya”.[5]
2.      Menurut 4 Madzhab
Nasab anak dari wanita nikah hamil menurut Imam Syafi’I bahwa nasab anak tersebut tidak ikut pada ayahnya. Bahkan jika sang ayah ingin menikahinya maka tidak dilarang. Cuma Imam Syafi’I sendiri yang tidak suka dengan hal tersebut. Dan jika benar terjadi maka pernikahan tersebut tidak menjadi fasikh.
Adapun pendapat Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bi Hambal laki-laki yang telah berzina tidak boleh menikahi anaknya dari hasil zina tersebut. Pelarangannya sebab bukan menikahi anaknya sendiri, akan tetapi anak dari wanita yang telah dihalimi adalah nasabnya menjadi mashoharoh. [6]
3.      Menurut Undang-Undang Perkawinan
Menurut UU No 1 taun1974 tentang perkawinan dalam Pasal 42-43 yang pada pokoknya menjelaskan bahwa ”anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat dari pernikahan yang sah. Anak yang dilahirkan diluar pernikahan hanya mempunyai hubungan perdata dengaan ibunya dan keluarga ibunya”.
Status sebagai anak yang dilahirkan diluar pernikahan merupakan suatu masalah bagi anak tersebut, karena mereka tidak bisa mendapat hak-hak dan kedudukan sebagai anak pada umumnya, karena secara hukumnya hanya memiliki hubungan dengan ibu dan keluarga ibunya. Anak diluar nikah tidak mendapat hak yang menjadi kewajiban ayahnya, karena tidak ada keabsahannya.[7]





C.    Pernikahan Beda Agama
            Pernikahan beda agama diatur dalam surat Al-Baqarah ayat 221 :
وَلَا تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّىٰ يُؤْمِنَّ ۚ وَلَأَمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ ۗ وَلَا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّىٰ يُؤْمِنُوا ۚ وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ ۗ أُولَٰئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ ۖ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ ۖ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Artinya : “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” 
Dalam surat Al Baqarah ayat 221 dijelaskan bahwa wanita musrikiyah tidak boleh menikah dengan laki-laki muslim dan wanita muslimah dilarang dinikahkan dengan pria kafir. Dijelaskan diatas bahwa yang dimaksud musyrik adalah yang menyembah berhala; yang menganut agama-agama non-samawi yang menyembah binatang, api dan bintang; dan yang pengikut ateisme[8]
1.      Perkawinan Beda Agama dalam Kompilasi Hukum Islam
Menurut Kompilasi Hukum Islam mengenai perkawinan beda agama diatur dalam buku I tentang Hukum Perkawinan pada pasal 40 huruf (c) dan pasal 44 KHI kedua pasal itu menyatakan :
a.       Pasal 40 huruf (c) “dilarang melakukan perkawinan antar seorang pria dengn seorang wanita karena keadaan tertentu, huruf (c); seorang yang tidak beragama islam.”
b.      Pasal 44 ; “seorang wanita islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak Beragama islam”
Dari kedua pasal ini KHI melarang segala bentuk perkawinan beda agama, baik itu perkawinan pria muslim dengan wanita non-muslim maupun sebaliknya.
2.      Perkawinan Beda Agama menurut 4 Mazhab
a.       Mazhab Hanafi
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan pria muslim dengan perkawinan wanita non muslim hukumnya mutlak haram, tetapi membolehkan wanita ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani). Menurut madzhab ini yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah siapa saja yang mempercayai Nabi dan Kitab yng diturunkan Allah swt.
b.      Madzhab Maliki
Madzhab Maliki mempunyai dua pendapat mengenai nikah beda agama :
1)      Menikah dengan wanita kitabiyah hukumnya makruh mutlaq, baik dzimmiyah maupun harbiyah namun makruhnya wanita harbiyah lebih besar. Akan tetapi jika dikhawatirkan bahwa si Isteri yang kitabiyah ini akan mempengaruhi anak-anaknya dan meninggalkan agama ayahnya, maka hukumnya haram.
2)      Tidak makruh mutlaq karena ayat tersebut tidak melarang secara mutlaq.metode berpikir madzhab ini menggunkan pendekatan Sad al Zairah (menutup jalan yang mengarah kepada kemafsadatan). Jika dikhawatirkan kemafsadatan yang akan muncul dalam perkawinan beda agama, maka diharamkaan.
c.       Madzhab Syafi’i
Madzhab Syafi’I berpendapat membolehkan menikahi wanita ahlul kitab dan yang termasuk golongan wanita ahlul kitab menurut madzhab Syafi’i adalah wanita yahudi dan nasrani keturunan bangsa Israel dan termasuk bangsa lainnya, sekalipun penganut agama Yahudi dan Nasrani.
d.      Madzhab Hambali
Pada Madzhab Hambali mengenai kajian perkawinan beda agama ini berpendapat haram menikahi wanita musrik dan boleh menikahi wanita Yahudi dan Nasrani, banyak mendapat dukungan pendapat Gurunya yaitu Imam Syafi’i. tetapi tidak membatasi dai bangsa Israel saja.[9]
3.      Pernikahan Beda Agama menurut Undang-Undang
  Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1974 tentang perkawinan mengatur secara tegas tentang perkawinan campuran dan sekaligus tentang sah-nya suatu perkawinan. Dalam UU No.1 Tahun 1974 pasal yang dijadikan sebagai landasan perkawinan beda agama adalah pasal 2 ayat 1, pasal 8 huruf f dan pasal 57.
Pasal 2 ayat 1 berbunyi “ perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu.”
Pasal 8 huruf f “perkawinan dilarang antara dua orang yang : f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin”
Pasal 57 “ yang dimksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini adalah perkawinan antar dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu lagi berkewarganegaraan Indonesia.
Dalam memahami perkawinan beda agama menurut Undang-Undang ada tiga penafsiran yang berbeda :
a.       Pernikahan beda agama merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1 1974 pasal 2 ayat 1 dan pasal 8 hururf f.
b.      Perkawinan beda agama adalah sah dan dapat dilangsungkan karena telah tercakup dalam pernikahan campuran.
c.       Perkawinan beda agama sama sekali tidak diatur dalam UU No.1/1974 oleh karena itu berdasarkan pada pasal 66 UU No.1/1974 maka persoalan nikah beda agama dapat merujuk pada pernikahan campuran karena belum diatur dalam Undang-Undang Perkawinan.[10]


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Perkawinan merupakan perbuatan yang disyariatkan islam yang mengikat pergaulan antara laki-laki dan perempuan sebagai suami dan isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang menimbulkan hak dan kewajiban. Lembaga perkawinan selalu menghadapi tantangan bahkan bisa terancam eksistensinya ketika dihadapkan pada suatu problem yang mencoba mengusik kesakralan institusinya. Problem yang dimaksud yaitu kehamilan diluar nikah dan nikah beda agama. Ada beberapa pendapat mengenai nikah hamil dan nikah beda agama. Ada yang memperbolehkan tetapi dengan syarat, ada juga yang melarang untuk melakukan.













DAFTAR PUSTAKA
Alhaa, Fatfaurrahman. Perkawinan Wanita Hamil.dalam  Jurnal Hukum dan Pemikiran, No.2.
Ali, Zainuddin. 2006. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta:Sinar Grafis
Huda, Nurul. Kawin Hamil dalam Kompilasi Hukum Islam. Dalam Isharqi, Vol.5, No.1, Jan-Jun 2009
Pasal 1 dan 2 ayat (1) UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Setiyanto, Danu Aris. Larangan Perkawinan Beda Agama dalam Kompilasi Hukum Islam. Al-Daulah dalam Jurnal Hukum dan Perundangan Islam, Vol.7, No 1, April 2017




[1] Nurul Huda, Kawin Hamil dalam Kompilasi Hukum Islam, Isharqi, vol.5, No 1, hlm. 40
[2] Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta:Sinar Grafis, 2006, hlm. 45
[3] Fatfaurrahman Alhaa, Perkawinan Wanita Hamil, Syariah dalam Jurnal Hukum dan Pemikiran, No.2, hlm. 231-232
[4] Pasal 1 dan 2 ayat (1) UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
[6] http://mentarijunior.wordpress.com/hukum-nikah-hamil-menurut-4-madzhab/ , diakses pada 09 Mei 2918 pukul 22.49
[8]  Danu Aris Setiyanto, Larangan Perkawinan Beda Agama dalam Kompilasi Hukum Islam, Al-Daulah dalam Jurnal Hukum dan Perundangan Islam Vol.7 No.7,2017, hlm. 93

Tidak ada komentar:

Posting Komentar